ANTISIPASI PROPAGANDA DAN DISINFORMASI KONFLIK
PAPUA SEBAGAI UPAYA MENCEGAH DISINTEGRASI BANGSA
(Siswantoro)
___________
I. PENDAHULUAN.
1.
Antisipasi propaganda
bernuansa radikalisme di Papua dan Papua Barat melalui dunia maya menjadi fokus
aparat keamanan dengan meningkatkan patroli siber. Maraknya perkembangan teknologi pada masa kini
menyuburkan radikalisme di masyarakat. Propaganda (cara untuk meyakinkan orang
agar menganut suatu aliran, sikap, atau arah tindakan tertentu) radikalisme
dengan bantuan internet (sosial media dan media masa) terus terjadi secara
masif, melebihi langkah-langkah yang dilakukan untuk mengutamakan prinsip damai
dan toleran. Pencegahan dalam konteks mencegah agar tidak ada situs internet dengan
konten radikalisme sulit dilakukan. Teknologi internet yang semakin mudah,
dapat diakses dan dimanfaatkan dari mana saja akan menyulitkan pencegahan dan
pembatasan konten yang dimuat.
2.
Pencegahan yang bisa
dilakukan adalah membatasi dan menutup situs internet di Papua dan Papua Barat yang mengandung konten radikalisme agar tidak
menyebar dan diakses lebih luas. Masyarakat harus cepat tanggap jika menemukan
situs internet dengan konten radikaliseme. Langkah cepat tanggap tersebut dapat
dilakukan misalnya dengan melaporkan ke Kementrian Kominfo. Lembaga-lembaga
pemerintah lain seperti BIN, BNPT, Polri, Kementrian Agama dan lembaga lainnya
sebaiknya diberi kewenangan untuk menentukan apakah sebuah situs dianggap layak
untuk dapat diakses secara umum atau tidak. Propaganda radikalisme harus
dilawan. Kekerasan dan pemaksaaan kehendak yang dilakukan oleh
kelompok-kelompok tertentu, apalagi hingga menimbulkan ketakutan dan korban
jiwa di masyarakat, adalah kejahatan luar biasa.
3.
Disinformasi
yang terjadi pada akhir-akhir ini di wilayah Papua dan Papua Barat dimaksudkan
untuk merusak sikap toleran dan cinta damai yang menjadi ciri Indonesia sebagai bangsa
timur hendaknya menjadi salah satu ajaran utama bagi generasi muda. Dengan
sikap toleran dan cinta damai yang kuat maka pengaruh-pengaruh yang ditularkan
dan disebarkan oleh propaganda radikalisme dapat dibendung dan tidak dilirik
oleh generasi muda. Hal ini perlu dilakukan terutama pada generasi muda
mengingat sebagian besar pelaku aksi teror sebagai dampak sikap radikal adalah
anak-anak muda. Melalui disinformasi diharapkan propaganda radikalisme di Papua
dan Papua Barat yang dilakukan oleh kelompok radikal (Kelompok Separatis Bersenjata/KSB
dan Kelompok Separatis Politik/KSP) sangat masif terjadi di Indonesia.
II. FAKTA-FAKTA.
1.
Konflik
di
wilayah Papua,
Indonesia diawali pada
tahun 1961, dimana pada saat itu muncul keinginan Belanda
untuk membentuk negara Papua Barat terlepas dari Indonesia, Langkah Belanda ini dilawan Presiden
Soekarno dengan mendekatkan diri pada negara komunis terutama Uni
Soviet. Sikap Soekarno ini membuat takut Belanda dan Presiden Amerika
Serikat John F Kennedy. Sebab jika itu dibiarkan maka Indonesia sangat mungkin
menjadi negara komunis terbesar di Asia Tenggara. Ketakutan itu lalu membuat
Belanda mengambil sikap untuk menyerahkan masalah Papua ke PBB. Dari dan melalui
PBB, Belanda mengambil sikap untuk keluar dari papua dan tidak jadi mengambil,
merebut dan menjajah Papua lalu Papua diserahkan "kembali" ke
Indonesia dengan syarat memberi kesempatan pada rakyat Papua untuk menentukan
sikap sendiri atau referendum (Penentuan Pendapat Rakyat/PERPERA). Lewat
PERPERA tahun 1969, rakyat Papua memilih "tetap" dalam lingkungan
Republik Indonesia.
2.
Kerusuhan terjadi di Wamena pada Senin pekan lalu, 23
September 2019. Massa ditangkap tersulut berita bohong soal ujaran rasial seorang
guru untuk pelajar SMP di sana. Mereka lalu membakar pertokoan dan kantor
pemerintah. Hingga Jumat lalu, dikembalikan 33 orang mati, 28 di
dikembalikan adalah pendatang. Lebih dari 7.200 orang dievakuasi dan
sekitar 7.500 pendatang masih mengungsi akibat konflik horizontal di Wamena.
Pada hari yang sama, bentrokan juga terjadi di Waena. Kericuhan bermula
dari keputusan Universitas Cenderawasih menolak pendirian posko pengungsian
bagi para mahasiswa dari luar Papua. Para pelajar yang ingin mendirikan
posko lalu berkumpul di kawasan Expo Waena dan berhadapan dengan personel
kepolisian dan TNI. Bentrokan pun tak terhindarkan. Tiga mahasiswa
dan satu anggota TNI ditolak.
III. ANALISA.
1.
Ancaman terbesar
disintegrasi datang dari Papua yang memang dalam sejarahnya diincar oleh
beberapa bangsa besar yang punya kepentingan. Selain karena kekayaan
alamnya, Papua juga bisa menjadi lokasi strategi bagi mereka yang terlibat
dalam persaingan global. Semua orang harus membuat bangsa ini, lebih dulu
mereka memiliki otoritas, untuk meresponsnya dengan sepenuh hati dan sepenuh
hati. Tentu saja dengan memperhatikan segala aspek yang terkait dengan
demikian, tidak perlu dipertanyakan. Papua dengan sendirinya yang juga
dipersepsikan sebagai daerah yang memiliki otonomi memiliki hak mengklaim
sebagai daerah Kristen semakin mendapat terancam pula.
2.
Gejolak
politik di
Papua dan Papua Barat yang ditandai dengan adanya perang propaganda
melalui media sosial, dimana isu tentang berita hoax menghipnotis masyarakat
Indonesia, bahkan menambah citra negatif sosial media. Seiring dengan adanya
dinamika perkembangan InformationCommunication andTechnology (ICT),
maka saat ini setiap individu dengan mudah menyampaikan aspirasi politiknya,
bahkan sosial media dijadikan sebagai sarana propaganda politik demi
merealisasikan perjuangan politik bagi mereka yang berkepentingan. Seperti apa
yang terjadi di Papua saat ini, beberapa tokoh politik anti RI di Papua dan
Kelompok Separatis Papua (KSP) mulai agresif menyuarakan aspirasinya agar
memperoleh dukungan penuh baik dari dalam negeri maupun fora internasinal agar
opsi referendum mereka direstui oleh PBB.
3.
Gejolak
tentang Papua
dan Papua Barat, semakin hari semakin meningkat ditandai dengan adanya
propovokasi dari beberapa negara asing sebagai peniup peluit atau pemrakarsa
memanasnya isu tentang Papua. Adanya indikasi berupa terjadinya isu-isu
disintegrasi terkait dengan kberadaan Papua menyebabkan Indonesia tidak boleh
memandang sebelah mata terhadap persoalan ini. Bagaimanapun juga Papua
merupakan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang harus dijaga
sampai titik darah penghabisan dan sudah menjadi kewajiban setiap warga negara
untuk ikut serta berpartisipasi aktif menjaga keutuhan wilayah NKRI. Negara
harus melakukan segala usaha dan upaya untuk mempertahankan kedaulatan,
keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala bentuk ancaman.
4.
Nuansa
disintegrasi Papua
dan Papua Barat sangat erat dengan rencana kelompok anti RI yang
berusaha melakukan internasionalisasi untuk memperoleh dukungan positif dari
tokoh politik, anggota parlemen, amnesti internasional dan lembaga
internasional lainnya. Hal ini terlihat dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) asing yang terus menyuarakan kemerdekaan Papua di dunia
Internasional. Kondisi semacam ini tentunya merupakan ancaman besar terhadap
kedaulatan negara. Saat ini bukan waktunya lagi pemeritah Indonesia
mengkaji dan menerapkan strategi pertahanan negara (Hanneg) yang tepat dan
akurat dalam menghadapi berbagai intervensi LSM asing. Keberadaan LSM asing di
Indonesia dan beberapa LSM lokal yang memiliki link-up Internasional
perlu diawasi secara seksama dan perlu adanya tindakan kontra intelijen untuk
memutus mata rantai pergerakan mereka. Sepak terjang tokoh politik seperti
Benny Wenda yang terus aktif menyuarakan kemerdekaan Papua di dunia
Internasional sebagai aktor yang bermain di belakang layar perlu
dinetralisir.
5.
Bagi
Indonesia permasalahan disintegrasi Papua dan Papua Barat dari NKRI membutuhkan
penerapan strategi pertahanan yang total, terpadu, dan berkelanjutan. Bersifat
total berarti mengeluarkan segala bentuk usaha dan upaya untuk mempertahankan
Papua agar tidak lepas dari kedaulatan NKRI. Usaha ini tidak hanya menjadi
tanggung jawab militer saja, namun kontribusi sipil turut diperlukan dalam
penyelesaian konflik Papua. Implementasinya adalah kaum sipil dapat dilibatkan
melalui peran media nasional yang memiliki integritas dan komitmen terhadap
NKRI. Tidak bisa dipungkiri bahwa media memiliki pengaruh yang luar biasa
terhadap kepentingan nasional maupun internasional. Berbagai media nasional
yang ada, baik cetak maupun elektronik dapat digunakan oleh Indonesia sebagai
kekuatan positif untuk menandingi pemberitaan negatif tentang Papua yang selama
ini selalu mendominasi di media.
6.
Strategi
ini sangat efektif dan low cost karena media nasional mampu
memberitakan berita positif terhadap kebijakan pemerintah Indonesia terhadap
Papua. Melalui media, kebijakan otonomi khusus dan pemberian dana alokasi umum
yang besar untuk Papua dapat dipublikasikan ke dunia internasional. Strategi
ini bisa dijadikan sebagai kekuatan nonmiliter untuk memperlihatkan ke publik
bahwa Indonesia sangat peduli terhadap peningkatan perekonomian Papua. Sedangkan
pada konteks terpadu dan berkelanjutan, Indonesia harus memadukan kekuatan
militer dan sipilnya menjadi permanen dengan melibatkan seluruh komponen bangsa
yang dengan penuh kesadaran mau membela negaranya demi keutuhan NKRI. Kombinasi
kekuatan tersebut merupakan bagian dari smart power dalam
penyelesaian permasalahan disintegrasi Papua. Tentara Nasional Indonesia (TNI)
yang menjaga wilayah Papua secara profesional harus dipublikasikan melalui seluruh
media baik cetak maupun digital ke forum Internasional.
IV. KESIMPULAN.
1.
Indonesia sebagai negara
yang beradap dengan ideologi Pancasila harus mampu menunjukkan identitasnya
sebagai bangsa yang cinta damai dan menghargai kebhinekaan di Papua dan Papua Barat. Perlawanan terhadap propaganda radikalisme harus
masif dilakukan di segala bidang dan di segala lapisan masyarakat. Ideologi
Pancasila dengan nilai-nilainya yang luhur dan menjadi ciri khas bangsa
Indonesia harus mampu dijadikan penangkal sikap radikal dan intoleran.
Propaganda atas ideologi Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, sikap toleran, dan
rasa damai perlu dilakukan secara masif melebihi propaganda radikalisme.
2.
Sejak Agustus 2019, di Papua dan Papua Barat tak henti dilanda konflik
berdarah. Setelah ujaran rasial dan persekusi terhadap mahasiswa asal
Papua di Surabaya, Jawa Timur, meminta persetujuan hari kemerdekaan Indonesia,
kericuhan menyebar ke berbagai penjuru Papua. Awal September 2019,
Presiden menugasi Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian dan Panglima TNI
Marsekal Hadi Tjahjanto berkantor di Papua untuk mengendalikan operasi.
V. REKOMENDASI.
1.
Perlunya
peran TNI dan Polri dalam menghadapi berbagai ancaman di Papua dan Papua Barat
merupakan jawaban terhadap kritikan LSM yang selalu menyinggung isu pelanggaran
hak asasi manusia (HAM), disamping instansi terkait dengan cara mempublikasikan
semua kegiatan pembangunan infrastruktur dan suprastruktur termasuk peran tokoh
agama dan tokoh masyarakat dalam menjamin kebhinekaan, keberagaman serta
kerukunan hidup antar umat beragama.
2.
Perlu
adanya publikasi yang fair di Papua dan Papua Barat, yang membahas tentang keberhasilan
dan kemajuan dibidang perekonomian dan pembangunan yang selama ini belum ditunjukkan
sebagai counter attack pada kelompok anti RI di Papua dan
Papua Barat, dimana ada beberapa kelompok yang selama ini selalu
berusaha mendiskreditkan pemerintah. Strategi semacam ini harus segera
diimplementasikan dan direalisasikan sebagai momentum yang sangat tepat demi
menjaga keutuhan NKRI.
3.
Perlunya ketegasan dari Pemerintah
untuk melakukan tindakan berupa pembatasan internet di Papua dan Papua Barat, yang digunakan untuk dijadikan media propaganda disintegrasi,
harus diatur supaya tidak ada propaganda radikalisme dalam konten situs
internet. Selain pencegahan, pemerintah dan segenap lapisan masyarakat perlu
melakukan perlawanan terhadap propaganda radikalisme. Aksi kontra propaganda
ini harus melebihi propaganda radikalisme yang terjadi. Kekuatan negara
sebaiknya diguanakan untuk menanamkan nilai-nilai ideologi Pancasila, Bhineka
Tunggal Ika, sikap toleran dan cinta damai untuk melawa propaganda
radikalisme.
_____________________________________________________________________
Tidak ada komentar:
Posting Komentar