ANALISA ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0 MENUJU SOCIETY 5.0
(Siswantoro)
___________________
1.
Munculnya paradigma
baru keamanan nasional di era revolusi industri 4.0, tidak lepas dari efiora global yang telah mengantisipasi
dan transformasi Revolusi Industri 4.0. Namun secara mengejutkan Jepang pada 21
Januari 2019 secara resmi meluncurkan “Society 5.0” dengan menjadikan manusia
sebagai subjek utama (human centered society) dalam mengendalikan kemajuan ilmu
dan teknologi. Bukan sebagai objek yang bakal terancam atau bahkan tergilas
oleh Revolusi Industri 4.0. Salah satu alasannya, Jepang menghadapi persoalan
demografi yang sangat serius. Yakni kelompok usia produktif, sekitar 77 juta
jiwa akan berkurang sebesar 70 persen menjadi 53 juta pada 2050. Sementara itu,
populasi di atas usia 65 tahun akan naik 38,4 persen pada 2065. Bagi mereka,
tanpa bantuan teknologi digital akan sulit untuk melayani dan memenuhi semua
kebutuhan masyarakatnya. Mengingat semakin sedikitnya jumlah populasi
produktif.
2.
Keamanan nasional di era revolusi
industri 4.0 juga dapat dipengaruhi oleh kesadaran
akan geopolitik dan geostrategi yang mereka bangun, namun melalui perjalanan
panjang mencakup perencanaan dan implementasiyangfokus dan terintegrasi untuk kesejahteraan
dan keamanan bangsa dan negaranya. Iptek yang menjadi keunggulan kompetitif
telah dijadikan momentum dahsyat untuk memengaruhi dunia global menembus batas
imajiner negara. Jepang akan semakin terkenal di dunia dengan memanfaatkan internet
of things (IoT), big data, artificial intelligence (AI), robot, dan sharing
economy serta berfokus pada humanisme. Semua itu mengarah pada perpaduan
era Revolusi Industri 4.0 dan Masyarakat 5.0.
3.
Konsep “Masyarakat
5.0/Society 5.0” menjadikan manusia sebagai pusat pengendali teknologi. Manusia
berperan lebih besar dengan mentransformasi big data dan teknologi bagi
kemanusiaan demi tercapainya kehidupan yang lebih baik. Society 5.0 iin menjadi
sebuah cetak biru dan strategi masa depan yang mendobrak kegilaan
negara-negara selain Jepang akan Revolusi Industri 4.0. Di tengah banyaknya pekerjaan
yang akan hilang karena otomatisasi, digitalisasi dan kapitalisme untuk
mewujudkan efektivitas dan efisiensi industrialisasi, kehadiran Society 5.0
menjadi paradigma baru yang humanistis. Masyarakat 5.0 mengacu pada enam pilar
utama yang meliputi infrastruktur, teknologi keuangan, perawatan kesehatan,
logistik, dan AI. Teknologi dan inovasi perlu dimanfaatkan untuk membantu dan
memajukan masyarakat, bukan untuk menggantikan peran manusia.
4.
Transformasi digital
membuka peluang terciptanya jenis pekerjaan baru yang sebelumnya tidak ada:
walau di sisi lain ada jenis-jenis pekeijaan yanghilang karena tergantikan.
Teknologi digital telah mengubah cara dan gaya hidup kekinian. Harga ponsel
semakin murah dan biaya internet semakin terjangkau merupakan faktor percepatan
transformasi teknologi digital. Terkait hal ini, perlu kita pikirkan prasyarat
dukungan energi kelistrikan yang mutlak diperlukan dalam akses teknologi
digital. Karena kegagalan kelistrikan atas perangkat keras IT akan menjadikan
kegagalan semua akses dan aktivitas digital selanjutnya. Hal ini penting,
mengingat ketersediaan energi bagi bangsa dan negara kita saat ini maupun masa
depan menjadi persoalan yang sangat serius. Bahkan dapat memicu krisis energi.
Produktivitas BBM yang hanya mencukupi 48 persen kebutuhan nasional menjadikan
negara kita pada status darurat energi. Harus ada solusi jitu untuk memperkuat
dan membesarkan BUMN-BUMN bidang energi agar memiliki kinerja membanggakan,
meraup keuntungan luar biasa dan menjadi tuan di negaranya sendiri. Mengingat
cadangan dalam negeri yang terbatas, diperlukan langkah-langkah ekspansi bisnis
hingga mancanegara secara cermat dan profesional.
5.
Sementara itu, sumber
kekayaan alam (SKA) Indonesia jangan menjadi tarik- menarik kepentingan,
termasuk kepentingan asing. Kemudian terkait Society 5.0 yang diinisiasi oleh
Jepang, hendaknya kita jadikan momentum untuk mempercepat transformasi atas
kedua arah baru tersebut secara simultan. Perpaduan Revolusi Industri 4.0 dan
Society 5.0 hendaknya dapat dijadikan roadmap/blue print nasional Indonesia.
Kita perlu bertindak cepat dan jangan sampai terlambat sehingga terjamin
kepentingan nasional dan keberlanjutanataseksistensibangsa. Karena populasi
generasi tua akan semakin banyak. Sehingga akan terjadi krisis populasi
produktif seperti Jepang, Rusia dan Korea saat ini. Pemerintah Indonesia perlu
menyiapkan regulasi untuk melindungi pekerja dari ancaman kehilangan pekerjaan
akibat dari revolusi Industri 4.0. Sehingga bonus demografi yang dihadapi
Indonesia dapat dijadikan subjek yang mengendalikan teknologi. Jangan sampai
terbalik manusia menjadi korban teknologi yang tumbuh berkembang.
6.
Bonus demografi bagi
Indonesia harus mampu dijadikan peluang melalui peningkatan kapasitas dan
kualitasnya agar memiliki profesionalisme dan nasionalisme tinggi sehingga
memiliki daya saing global yang membanggakan. Hal ini perlu komitmen penyelenggara
negara maupun perusahaan untuk fokus dan mempersiapkan perencanaan dan pembiayaan
yang memadai untuk pelaksanaan up skilling, social security net and funding.
Sehingga mampu menjadi agent of technology sebagai sumber daya manusia (SDM)
yang unggul. In paralel, terus dikembangkan industri-industri strategis
nasional termasuk industri digital, yang berbasiskan artificial intelligence
(AI), internet atas segala hal (internet of thing/ IoT), realitas tertambah
(augmented reality), pembelajaran mesin (machine learning), dan pembelajaran
dalam (deep learning). Serta berorientasi pada pengembangan SDM Indonesia,
profit dan keberlanjutan. Bukan hanya imtuk memenuhi kebutuhan masa sekarang
namun juga mempersiapkan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya.
7.
Dikaitkan dengan
profil ketenagakerjaan, data BPS pada Februari 2020 menunjukkan jumlah penduduk
usia kerja 193,55 juta jiwa terdiri dari: 1) angkatan kerja sebesar 133,94
juta jiwa (127,07 juta jiwa yang bekerja dan 6,87 juta jiwa yang pengangguran)
dan 2) bukan angkatan kerja 59,61 juta jiwa (36,01 juta jiwa mengurus rumah
tangga, 15,61 juta jiwa bersekolah dan lainnya 7,99 juta jiwa). Dari 127,07
juta jiwa yang bekerja terdiri dari 87,08juta jiwa yang bekerja penuh, 30,29
juta jiwa yang bekeija paruh waktu dan 9,7juta jiwa yang setengah menganggur.
Dari data tersebut, tercermin bahwa angka pengangguran menjadi persoalan
serius, terlebih jika dikaitkan dengan dampak negatif Revolusi lndustri 4.0.
Secara nasional tingkat pengangguran terbuka sebesar 5,34 persen lebih rendah
dari tahun-tahun sebelumnya. Tingkat pendidikan penduduk yang bekerja
dilaporkan bahwa 11,71 juta jiwa (9,22 persen) berpendidikan universitas, 3,5
juta jiwa (2,75 persen) berpendidikan diploma, 14,55 juta jiwa (11,45 persen)
berpendidikan SMK, 21,32 juta jiwa (16,78 persen) berpendidikan SMA atau
sederajat, 22,88juta jiwa (18 persen) berpendidikan SMP atau sederajat dan
53,11 juta jiwa (41,8 persen) berpendidikan SD ke bawah.
8.
Profil kependidikan
pekerja yang seperti ini merupakan tantangan serius dalam transformasi
ketenagakerjaan menuju era Revolusi Industri 4.0 maupun Masyarakat 5.0 Terkait
penggunaan teknologi digital, hingga Januari 2018, data pengguna internet di
Indonesia mencapai 132,7 juta (50 persen dari penduduk Indonesia sebesar 265,4
juta j iwa). Pengguna media sosial sebesar 130 juta (49 persen), pengguna
ponsel sebesar 177,9 juta (67 persen), pengguna mobile social media sebesar 120
juta (45 persen). Sedangkan untuk industri yang menggunakan robot masih relatif
sedikit dikaitkan dengan program padat karya yang menyerap tenaga kerja lebih
banyak. Meski berposisi sebagai pasar media sosial terbesar di Asia Tenggara
dengan 120 juta orang menggunakan ponsel pintar, tetapi industri di bidang
teknologi komunikasi ini masih terbatas.
9.
Negara harus hadir
untuk menguasai mayoritas saham provider lT baik Telkom maupun Indosat agar
kita bisa mengendalikan sekaligus mengamankan kepentingan nasional kita, jangan
sampai big data disalahgunakan. Sementara itu, pertumbuhan sektor industri
manufaktur dan industri- industri lain mengalami kelambatan rata-rata di bawah
5 persen. Ini menjadi persoalan tersendiri yang perlu short cut untuk
mengatasinya. Ke depan, kita juga harus meningkatkan pembiayaan riset dan
pengembangan (R&D) lebih besar lagi dari yang hanya 0,3 persen dari PDB
(produk domestik bruto). Agar mampu bersaing dengan negara-negara berkembang
lainnya. Di samping itu, perlu dikembangkan intelijen industri sebagai sarana
pendukung pengembangan dan ekspansi bisnis global dari industri- industri
strategis nasional yang kita miliki.
_____________________________________________________________________
Tidak ada komentar:
Posting Komentar