Selasa, 14 Juli 2020

ANALISA ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0 MENUJU SOCIETY 5.0


ANALISA ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0 MENUJU SOCIETY 5.0

(Siswantoro)
___________________


1.            Munculnya paradigma baru keamanan nasional di era revolusi industri 4.0, tidak lepas dari efiora global yang telah mengantisipasi dan transformasi Revolusi Industri 4.0. Namun secara mengejutkan Jepang pada 21 Januari 2019 secara resmi meluncurkan “Society 5.0” dengan menjadikan manusia sebagai subjek utama (human centered society) dalam mengendalikan kemajuan ilmu dan teknologi. Bukan sebagai objek yang bakal terancam atau bahkan tergilas oleh Revolusi Industri 4.0. Salah satu alasannya, Jepang menghadapi persoalan demografi yang sangat serius. Yakni kelompok usia produktif, sekitar 77 juta jiwa akan berkurang sebesar 70 persen menjadi 53 juta pada 2050. Sementara itu, populasi di atas usia 65 tahun akan naik 38,4 persen pada 2065. Bagi mereka, tanpa bantuan teknologi digital akan sulit untuk melayani dan memenuhi semua kebutuhan masyarakatnya. Meng­ingat semakin sedikitnya jumlah populasi produktif.

2.            Keamanan nasional di era revolusi industri 4.0 juga dapat dipengaruhi oleh kesadaran akan geopolitik dan geostrategi yang me­reka bangun, namun melalui perjalanan panjang mencakup perencanaan dan implementasiyangfokus dan terintegrasi untuk kesejahteraan dan keamanan bangsa dan negaranya. Iptek yang menjadi keunggulan kompetitif telah dijadikan momen­tum dahsyat untuk memengaruhi dunia global menembus batas ima­jiner negara. Jepang akan semakin terkenal di dunia dengan memanfaatkan internet of things (IoT), big data, artificial intelligence (AI), robot, dan sharing economy serta berfokus pada humanisme. Semua itu mengarah pada perpaduan era Revolusi Industri 4.0 dan Masyarakat 5.0.

3.            Konsep “Masyarakat 5.0/Society 5.0” menjadikan manusia sebagai pusat pengendali teknologi. Manusia berperan lebih besar dengan men­transformasi big data dan teknologi bagi kemanusiaan demi tercapainya kehidupan yang lebih baik. Society 5.0 iin menjadi sebuah cetak biru dan strategi masa depan yang mendo­brak kegilaan negara-negara selain Jepang akan Revolusi Industri 4.0. Di tengah banyaknya pekerjaan yang akan hilang karena otomati­sasi, digitalisasi dan kapitalisme untuk mewujudkan efektivitas dan efisiensi industrialisasi, kehadiran Society 5.0 menjadi paradigma baru yang humanistis. Masyarakat 5.0 mengacu pada enam pilar utama yang meliputi infrastruktur, teknologi keuangan, perawatan kesehatan, logistik, dan AI. Teknologi dan inovasi perlu di­manfaatkan untuk membantu dan memajukan masyarakat, bukan untuk menggantikan peran manu­sia. 

4.            Transformasi digital membuka peluang terciptanya jenis pekerjaan baru yang sebelumnya tidak ada: walau di sisi lain ada jenis-jenis pekeijaan yanghilang karena tergan­tikan. Teknologi digital telah meng­ubah cara dan gaya hidup kekinian. Harga ponsel semakin murah dan biaya internet semakin terjangkau merupakan faktor percepatan trans­formasi teknologi digital. Terkait hal ini, perlu kita pikirkan prasyarat dukungan energi kelistri­kan yang mutlak diperlukan dalam akses teknologi digital. Karena ke­gagalan kelistrikan atas perangkat keras IT akan menjadikan kega­galan semua akses dan aktivitas digital selanjutnya. Hal ini penting, mengingat ketersediaan energi bagi bangsa dan negara kita saat ini mau­pun masa depan menjadi persoalan yang sangat serius. Bahkan dapat memicu krisis energi. Produktivitas BBM yang hanya mencukupi 48 persen kebutuhan nasional menjadikan negara kita pada status darurat energi. Harus ada solusi jitu untuk memperkuat dan membesarkan BUMN-BUMN bidang energi agar memiliki kiner­ja membanggakan, meraup keun­tungan luar biasa dan menjadi tuan di negaranya sendiri. Mengingat cadangan dalam negeri yang terbatas, diperlukan langkah-langkah ekspansi bisnis hingga mancanegara secara cer­mat dan profesional.

5.            Sementara itu, sumber kekayaan alam (SKA) Indonesia jangan menjadi tarik- menarik kepentingan, termasuk kepentingan asing. Kemudian terkait Society 5.0 yang diinisiasi oleh Jepang, hendaknya kita jadikan momentum untuk mempercepat transformasi atas kedua arah baru tersebut secara simultan. Perpaduan Revolusi In­dustri 4.0 dan Society 5.0 hendaknya dapat dijadikan roadmap/blue print na­sional Indonesia. Kita perlu bertindak cepat dan jangan sampai terlambat sehingga terjamin kepentingan nasional dan keberlanjutanataseksistensibangsa. Karena populasi generasi tua akan semakin banyak. Sehingga akan ter­jadi krisis populasi produktif seperti Jepang, Rusia dan Korea saat ini. Pemerin­tah Indonesia perlu menyiapkan regulasi untuk melindungi pekerja dari ancaman kehilangan peker­jaan akibat dari revolusi Industri 4.0. Sehingga bonus demografi yang dihadapi Indonesia dapat dijadi­kan subjek yang mengendalikan teknologi. Jangan sampai terbalik manusia menjadi korban teknologi yang tumbuh berkembang.

6.            Bonus demografi bagi Indonesia harus mampu dijadikan peluang melalui peningkatan kapasitas dan kualitasnya agar memiliki profesi­onalisme dan nasionalisme tinggi sehingga memiliki daya saing glo­bal yang membanggakan. Hal ini perlu komitmen penye­lenggara negara maupun perusa­haan untuk fokus dan mempersiap­kan perencanaan dan pembiayaan yang memadai untuk pelaksanaan up skilling, social security net and funding. Sehingga mampu menjadi agent of technology sebagai sumber daya ma­nusia (SDM) yang unggul. In paralel, terus dikembangkan industri-industri strategis nasional termasuk industri digital, yang ber­basiskan artificial intelligence (AI), internet atas segala hal (internet of thing/ IoT), realitas tertambah (augmented reality), pembelajaran mesin (machine learning), dan pembelajaran dalam (deep learn­ing). Serta berorientasi pada pengem­bangan SDM Indonesia, profit dan keberlanjutan. Bukan hanya imtuk memenuhi kebutuhan masa seka­rang namun juga mempersiapkan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya.

7.            Dikaitkan dengan profil ketena­gakerjaan, data BPS pada Februari 2020 menunjukkan jumlah pen­duduk usia kerja 193,55 juta jiwa terdiri dari: 1) angkatan kerja sebe­sar 133,94 juta jiwa (127,07 juta jiwa yang bekerja dan 6,87 juta jiwa yang pengangguran) dan 2) bukan ang­katan kerja 59,61 juta jiwa (36,01 juta jiwa mengurus rumah tangga, 15,61 juta jiwa bersekolah dan lainnya 7,99 juta jiwa). Dari 127,07 juta jiwa yang bekerja terdiri dari 87,08juta jiwa yang beker­ja penuh, 30,29 juta jiwa yang bekeija paruh waktu dan 9,7juta jiwa yang setengah menganggur. Dari data tersebut, tercermin bahwa angka pengangguran menjadi persoalan serius, terlebih jika dikaitkan dengan dampak negatif Revolusi lndustri 4.0. Secara nasional tingkat pengangguran terbuka sebesar 5,34 persen lebih rendah dari tahun-tahun sebelumnya. Tingkat pendidikan penduduk yang bekerja dilaporkan bahwa 11,71 juta jiwa (9,22 persen) berpen­didikan universitas, 3,5 juta jiwa (2,75 persen) berpendidikan diplo­ma, 14,55 juta jiwa (11,45 persen) berpendidikan SMK, 21,32 juta jiwa (16,78 persen) berpendidikan SMA atau sederajat, 22,88juta jiwa (18 per­sen) berpendidikan SMP atau seder­ajat dan 53,11 juta jiwa (41,8 persen) berpendidikan SD ke bawah.

8.            Profil kependidikan pekerja yang seperti ini merupakan tantangan serius da­lam transformasi ketenagakerjaan menuju era Revolusi Industri 4.0 maupun Masyarakat 5.0 Terkait penggunaan teknologi digital, hingga Januari 2018, data pengguna internet di Indonesia mencapai 132,7 juta (50 persen dari penduduk Indonesia sebesar 265,4 juta j iwa). Pengguna media sosial se­besar 130 juta (49 persen), pengguna ponsel sebesar 177,9 juta (67 persen), pengguna mobile social media sebesar 120 juta (45 persen). Sedangkan untuk industri yang menggunakan robot masih relatif sedikit dikaitkan dengan program padat karya yang menyerap tenaga kerja lebih banyak. Meski berposisi sebagai pasar media so­sial terbesar di Asia Tenggara dengan 120 juta orang menggunakan ponsel pintar, tetapi industri di bidang teknologi komunikasi ini masih terbatas.

9.            Negara harus hadir untuk menguasai mayoritas saham provider lT baik Telkom maupun Indosat agar kita bisa mengendalikan sekaligus mengamankan kepentingan nasional kita, jangan sampai big data disalahgunakan. Sementara itu, pertumbuhan sektor industri manufaktur dan industri- industri lain mengalami kelambatan rata-rata di bawah 5 persen. Ini men­jadi persoalan tersendiri yang perlu short cut untuk mengatasinya. Ke de­pan, kita juga harus meningkatkan pembiayaan riset dan pengembangan (R&D) lebih besar lagi dari yang ha­nya 0,3 persen dari PDB (produk domestik bruto). Agar mampu bersaing dengan negara-negara berkembang lainnya. Di samping itu, perlu dikembang­kan intelijen industri sebagai sarana pendukung pengembangan dan ek­spansi bisnis global dari industri- industri strategis nasional yang kita miliki. 
_____________________________________________________________________



Tidak ada komentar:

Posting Komentar